SIMPANG LIMO BENGKULU

AvatarTempat berbagi cerita tentang Bengkulu. Berharap menjadi salah satu sumber informasi mengenai daerah ini. Selamat membaca...

Te'iak

oleh: Herman dan Amrul Hamidi

Masyarakat Kaur Tengah dan Kaur Selatan hampir 100 persennya beragama Islam. Orang-orang berpuasa di bulan suci Ramadhan sebagai pemenuhan rukun Islam yang ke-tiga. Pada bulan ini, ada satu tradisi yang berlangsung sejak nenek moyang orang Kaur menganut Islam. Namanya "Te'iak".

Dalam kosa kata bahasa Kaur bagian tengah dan Selatan tidak terdapat pengucapan huruf "R" sebagaimana orang Batak yang bisa mengucapkan dengan jelas. Yang ada adalah huruf 'ain dalam bahasa Arab, yakni huruf ke 18 dalam susunan huruf Hijaiyah. Jadi kata Te'iak tidaklah dilafazkan "Teriak" seperti dalam bahasa Indonesia. Meski secara harfiah keduanya memiliki arti yang sama, namun "te'iak" merupakan satu kata untuk menyebut tradisi yang hanya berlangsung di bulan puasa.

Te'iak adalah tradisi membangunkan orang-orang di dusun, yang bertujuan (semacam) meminta penduduk untuk segera bangun dan memasak keperluan makan sahur. Te'iak ini berlangsung dari pukul 02.00 - 03.00 WIB. Dengan memasak pada waktu-waktu itu, maka ketika masakan itu matang, seluruh penghuni rumah yang akan berpuasa bisa menikmatai makanan yang masih dalam kondisi hangat dan enak untuk dinikmati. Itulah kenapa membangunkan masyarakat harus di waktu-waktu itu. Perhitungan memasak makanan hingga menjadi matang sekitar satu jam, sehingga saat bersantap sahur tepat di akhir waktu atau sebelum imsyak (batas untuk menyelesaikan sahur, kira-kira 10 menit sebelum Adzan Subuh). Dalam ajaran Islam, sahur dianjurkan berlangsung menjelang atau mendekati subuh.

Te'iak dilakukan oleh pemuda-pemuda di dusun, yang semuanya belum beristri atau berkeluarga. Para pemuda tidak tidur di rumah orang mereka pada bulan Ramadhan, tetapi berkumpul dan tidur di Masjid atau Surau (musholla). Sekitar pukul 02.00 WIB mereka bangun untuk mempersiapkan prosesi Te'iak. Sebenarnya, peralatan yang digunakan adalah gendang (seperti rebana namun dengan ukuran yang lebih besar), yang terdiri gendang yang besar dengan diameter sekitar setengah meter dan rebana kecil dengan diameter sekitar 25 cm. Rebana inilah yang ditabuh dengan irama tertentu yang diiringi oleh Hadra (semacam barzanji), yakni puji-pujian yang menagungkan Sang Maha Kuasa serta Shalawatan kepada baginda Rasullullah SAW. Kira-kira tahun 1980-an awal, peralatan ditambah dengan pelatan yang juga menghasilkan bebunyian seperti kelintang (semacam bonang pada peralatan gamelan Jawa) baik yang bentuknya batangan maupun bulat (seperti gong tapi ukuran yang kecil), serta kentungan dan besi.

Ada tiga tahapan Te'iak yakni melantunkan Hadra, lalu dilanjutkan dengan Nu'un Lagu atau beralih lagu dan diakhiri dengan dengan pantun yang balas berbalas, yang semuanya diiringi oleh gendang dan peralatan lainnya dengan irama tertentu yang khas. Dimulai dari Masjid atau surau, lalu rombongan Te'iak berjalan beriringan ke satu ujung dusun ke ujung dusun yang lain dengan tujuan membangunkan penduduk. Irama Te'iak melantun ke seluruh dusun yang dilalui. setelah sekitar satu jam membangunkan penduduk, maka rombongan Te'iak akan kembali lagi ke masjid atau surau.

Te'iak ini hanya berlangsung sampai pukul 03.00 WIB, tidak boleh melebihi waktu itu. Jika ada Te'iak yang melampaui waktu itu, maka penduduk akan menjadi marah, sebab para pemuda yang Te'iak berarti terlambat membangunkan orang-orang untuk menyiapkan santapan makan sahur.

Saat ini, Te'iak masih berlangsung. Namun, jumlah pemuda yang melaksakannya mulai berkurang. Banyak pemuda sudah merantau mencari nafkah di luar kaur sehingga yang tersisa hanya sedikit. Supaya tetap berlangsung dengan baik, anak-anak yang masih duduk di bangku SLTA dilibatkan dalam melakukan Te'iak. Ketika keliling dusun, masih ada tambahan anak-anak yang keluar dari rumahnya untuk mengikuti rombongan Te'iak yang saat itu sedang melewati rumahnya. Biasanya anak-anak ini adalah anak-anak yang sejak kecil jarang melihat Te'iak karena kebetulan orang tua mereka sendiri merantau bersama keluarga di luar Kaur, dan mudik ke Kaur menjelang hari raya Idul Fitri.

Kaur Selatan dan Kaur Utara terletak di daerah yang dekat dengan laut. Adat istiadat atau praktik budaya serta bahasa daerah adalah sama. Kalau pun ada perbedaan dari segi bahasa, hanya terletak dalam pengucapan suku kata untuk beberapa kosa kata saja. Kaur Tengah memiliki pusat pemerintahan kecamatan yang terletak di Tanjung Iman, serta Kaur Selatan sendiri berpusat di Bintuhan. Biasanya, orang Kaur Tengah dan Kaur Selatan mengenalkan diri kepada orang luar sebagai orang Bintuhan. Mungkin karena pusat aktifitas ekonomi dan pemerintahan sejak zaman dulu memang terletak di sana, sehingga nama Bintuhan lebih dikenal oleh khalayak di luar Kaur. Kedua Kecamatan ini memiliki perbedaan bahasa daerah dengan masyarakat yang berada di Kecamatan Kaur Utara, yang lebih dikenal dengan Padang Guci. Kaur Tengah, Kaur Selatan dan Kaur Utara sebelumnya adalah bagian dari Kabupaten Bengkulu Selatan. Sejak tahun 2005 lalu, Ketiga Kecamatan itu bergabung menjadi satu kabupaten dengan nama Kabupaten Kaur. Dari Ibukota Propinsi Bengkulu jaraknya hampir 200 kilometer ke arah selatan. Kabupaten ini berbatasan langsung dengan Provinsi Lampung di sebelah Selatannya.

Te'iak adalah salah satu tradisi yang ada di daerah Kaur Tengah dan Kaur Selatan yang perlu dilestarikan. Ia adalah kekayaan budaya masyarakat yang bisa jadi akan punah, sebagaimana generasi-generasi terdahulu menyesali anak keturunannya yang sudah tidak lagi bisa berbahasa daerah seperti mereka. Gempuran budaya luar yang masuk melalui proses globalisasi merupakan ancaman yang harus diwaspadai, sebab proses penghilangan budaya itu berlangsung secara perlahan-lahan, seperti proses evolusi yang alamiah saja.

Baca selengkapnya....

Asal Mula Air Langkap

oleh: Herman

Sebuah desa, dulu di kecamatan Kaur Tengah, Kabupaten Bengkulu Selatan. Desa ini secara administratif bernama Desa Sukarami. Di sini terkenal sebagai dusun Air Langkap. Membacanya begini: Aya' Langkap. Tanda baca ( ' ) sebagai pengganti huruf R dalam bahasa Indonesia. Membacanya seperti membaca huruf 'ain dalam bahasa Arab, yakni huruf ke 18 dalam susunan huruf Hijaiyah. Penduduk setempat tidak bisa menyebut huruf R seperti orang batak menyebutnya.

Dusun Air Langkap dekat dengan laut. Di pinggir laut ini ada bagian air laut yang menjorok ke daratan seperti teluk. Nah, daerah pinggir pantai yang banyak pohon kelapanya ini, air laut yang menjorok seperti teluk tersebut memiliki panjang sekitar 100-an meter dan lebar yang cukup membuatnya tampak seperti sungai. Kalau airnya sedang penuh, kedalamannya sekitar sepinggang orang dewasa. Airnya asin, karena memang ia bagian dari laut. Kalau air laut sedang pasang naik, maka ia terlihat sekali menyatu dengan laut lepas, sebab karang-karang tajam di pinggir pantai sudah tidak tampak lagi.

Sepintas orang melihatnya seperti muara, yakni pertemuan aliran sungai dengan laut. Di dalamnya banyak terdapat ikan-ikan yang ukurannya tidak begitu besar, rata-rata seukuran jempol orang dewasa. Ada ikan Pelung yang warnya hitam dan kulitnya agak licin. Ada pula ikan Se'eni yang warnanya bening agak keabu-abuan. Ikan-ikan itu enak dimakan. Kalau malas memancing agak ke tengah laut karena karang-karang tajam atau laut yang sedang tinggi gelombangnya, orang-orang atau kebanyakan adalah anak-anak, akan memancing di situ. Mendapatkan ikan Pelung dan Ikan Se'eni beberapa genggam sudah cukup untuk lauk teman nasi untuk dimakan.

Pada zaman dulu, di air inilah seorang penduduk menemukan mayat yang telangkap atau telungkup, posisi badan menghadap ke bumi. Mayat itu mengapung di sana. Mungkin karena sebelumnya belum pernah terjadi, akhirnya tempat tersebut jadi terkenal. Akhirnya daerah ini disebut dusun Aya' Langkap. Maksudnya air di mana pernah ditemukan mayat mengapung di atasnya dalam posisi telangkap atau telungkup. Jadilah dusun ini terkenal dengan sebutan Aya' Langkap.

Penduduk setempat menyebut Air dengan Aya'. Sungai disebut Aya' Besak atau air besar. Air sumur disebut Aya' Sumu'.

Saya lahir di sini, di Aya' Langkap. Namun di surat keterangan kelahiran saya disebut desa Sukarami. Masa kanak-kanak hingga remaja saya habiskan di Kota Bengkulu, ibukota propinsi. Selama 7 tahun hidup di Yogyakarta, sudah hampir 3 tahun terakhir hidup di Jakarta, saya masih tetap merindukan desa tempat saya memulai kehidupan dunia pertama kali: Aya' Langkap.

Baca selengkapnya....
 

Mailing List Blogger Bengkulu

Sebelum mendaftar, silahkan membaca dulu persyaratannya di sini.