Oleh: Yansen
Ada saat dimana pengetahuan tidak memberikan penjelasan mutlak terhadap sebuah masalah. Inilah ketika pengetahuan menemui jalan buntu. Pengetahuan yang dikategorikan pasti pun menjadi tidak pasti. Ternyata, kebenaran pengetahuan manusia bersifat relatif. Proses mendapatkan pengetahuan terdiri dari tiga hal pokok: ontologis, epistimologi dan aksiologi. Ontologis adalah apa yang dicari. Epistemologi adalah metode mencari pengetahuan. Sedangkan aksiologi bermakna untuk apa pengetahuan yang didapat.
Pertanyaan-pertanyaan ontologis tentang fenomena alam membuat banyak orang berpikir. Lalu lahirlah para ilmuwan. Pertanyaan-pertanyaan itu kemudian membuat para ilmuwan mengembangkan metode untuk mencari jawaban dan kesimpulan. Kemudian berkembanglah metode deduksi dan induksi sebagai pendekatan utama. Pada perkembangan lanjut, muncul klasifikasi ilmu, semisal ilmu pasti dan ilmu soial.
Kita mengangap, misalnya, Matematika adalah ilmu pasti. Argumennya sederhana, 6 ditambah 6 pasti sama dengan 12. Apakah memang demikian? Ternyata tidak juga. Konklusi di atas betul jika kita menggunakan skala penghitungan dengan digit tertinggi 9. Bagaimana jika kita menyepakati skala penghitungan dengan digit tertinggi 6. Tentu jawabnya 15. Makanya, ilmu adalah kesepakatan.
Jika anda tanya kepada ilmuwan sosial tentang resep memperbaiki keadaan Bangsa Indonesia, maka akan ada puluhan teori yang dikemukakan. Ada ratusan argumen yang dijelaskan. Ada ribuan contoh kasus yang diajukan.
Demikian juga dengan geoteknologi. Terminologi ini menjadi akrab dengan kita setelah peristiwa gempa bumi. Istilah ini menggabungkan antara geologi dan teknologi. Sebagai sebuah ilmu, geoteknologi mempelajari pergerakan bumi, termasuk lempeng, dan aspek-aspeknya. Dengan mengamati pola, siklus dan perilaku gempa, para ahli ilmu ini memprediksi kejadian-kejadian gempa. Prediksi terbaru mengungkapkan bahwa Patahan Mentawai belum bergerak. Jika patahan ini bergerak, maka akan terjadi gempa yang diperkirakan sangat besar. Tetapi, jika ditanyakan kapan terjadinya, tak seorang pun yang berani memastikan.
Gempa, terutama tektonik, memang gejala alam yang unik dan mengandung misteri. Karena itu, sikap dan manajemen terhadap bencana ini bisa dikatakan rumit. Ketidak pastian kapan terjadinya membuat tidak begitu banyak hal yang bisa diperbuat. Ternyata ada lorong gelap dibalik penjelasan ilmiah. Inilah yang dinamakan kebuntuan ilmu pengetahuan, scientific deadlock. Karena itu kondisinya menjadi dilematis. Bahkan, ketika ada orang yang berani mengatakan kapan terjadinya, seperti surat dari ilmuwan Brazil yang beredar belakangan ini, ia tidak memberikan ketenangan. Malah ia menimbulkan keresahan baru, antara pasti dan tak pasti.
Karena itu, jika urutan pengetahuan adalah ontologis (apa), epistimologi (bagaimana) dan aksiologi (untuk apa), maka dibalik konklusi seharusnya muncul lagi pertanyaan ontologis—apa dibalik ini. Atau bahkan subjektif—siapa di balik ini. Lalu sebatas manakah ilmu bisa menjelajah? Karena itu, ketika terjadi scientific deadlock, ada Subjek (dengan ’S’ besar) utama. Seringkali ilmuwan hanya berhenti pada subjek-subjek (’s’ kecil) antara. Maka, ada baiknya ketika ini terjadi kita mengembalikan semuanya pada subjek utama alam semesta, yakni Tuhan yang maha kuasa.
Keyakinan tentang entitas ketuhanan ini sangat dibutuhkan. Hal ini membuat ilmuwan bekerja pada koridor yang benar. Makanya, Einstein menyebutkan ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta. Tanpa bimbingan ini, yang muncul adalah arogansi ilmu dan penggunaan ilmu untuk hal yang negatif. Nuklir adalah contohnya. Ia bisa menjadi sumber energi alternatif, tapi nuklir juga bisa menjadi senjata pembunuh massal paling menkautkan. Disamping itu, keyakinan akan entitas ketuhanan juga dibutuhkan oleh khalayak banyak sebagai pengguna ilmu. Dengannya, masyarakat tidak hanya menggantungkan pada kemampuan rasional manusia, tapi juga hal-hal irasional diluar kekuatan manusia. Demikian hendaknya kita berharap sikap masyarakat kita terhadap gempa.
Wallahu’alam bisshowab.
April 24, 2008
(Mungkin) gempa lagi
Label:
Opini
Langganan:
Posting Komentar
Mailing List Blogger Bengkulu
Sebelum mendaftar, silahkan membaca dulu persyaratannya di sini.
2 komentar:
waw, keren...
saya termasuk pengagum keuletan seorang Yansen.
Saya setuju dengan tulisan ini.
Untuk pak Yansen, selamat berjuang di negeri orang. Semoga sukses dan kembali dengan selamat.
Bagus
Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 31 Mei 2008
Matinya Ilmu Administrasi dan Manajemen
(Satu Sebab Krisis Indonesia)
Oleh Qinimain Zain
FEELING IS BELIEVING. C(OMPETENCY) = I(nstrument) . s(cience). m(otivation of Maslow-Zain) (Hukum XV Total Qinimain Zain).
INDONESIA, sejak ambruk krisis Mei 1998 kehidupan ekonomi masyarakat terasa tetap buruk saja. Lalu, mengapa demikian sulit memahami dan mengatasi krisis ini?
Sebab suatu masalah selalu kompleks, namun selalu ada beberapa akar masalah utamanya. Dan, saya merumuskan (2000) bahwa kemampuan usaha seseorang dan organisasi (juga perusahaan, departemen, dan sebuah negara) memahami dan mengatasi krisis apa pun adalah paduan kualitas nilai relatif dari motivasi, alat (teknologi) dan (sistem) ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Di sini, hanya menyoroti salah satunya, yaitu ilmu pengetahuan, system ilmu pengetahuan. Pokok bahasan itu demikian penting, yang dapat diketahui dalam pembicaraan apa pun, selalu dikatakan dan ditekankan dalam berbagai forum atau kesempatan membahas apa pun bahwa untuk mengelola apa pun agar baik dan obyektif harus berdasar pada sebuah sistem, sistem ilmu pengetahuan. Baik untuk usaha khusus bidang pertanian, manufaktur, teknik, keuangan, pemasaran, pelayanan, komputerisasi, penelitian, sumber daya manusia dan kreativitas, atau lebih luas bidang hukum, ekonomi, politik, budaya, pertahanan, keamanan dan pendidikan. Kemudian, apa definisi sesungguhnya sebuah sistem, sistem ilmu pengetahuan itu? Menjawabnya mau tidak mau menelusur arti ilmu pengetahuan itu sendiri.
Ilmu pengetahuan atau science berasal dari kata Latin scientia berarti pengetahuan, berasal dari kata kerja scire artinya mempelajari atau mengetahui (to learn, to know). Sampai abad XVII, kata science diartikan sebagai apa saja yang harus dipelajari oleh seseorang misalnya menjahit atau menunggang kuda. Kemudian, setelah abad XVII, pengertian diperhalus mengacu pada segenap pengetahuan yang teratur (systematic knowledge). Kemudian dari pengertian science sebagai segenap pengetahuan yang teratur lahir cakupan sebagai ilmu eksakta atau alami (natural science) (The Liang Gie, 2001), sedang (ilmu) pengetahuan sosial paradigma lama krisis karena belum memenuhi syarat ilmiah sebuah ilmu pengetahuan. Dan, bukti nyata masalah, ini kutipan beberapa buku pegangan belajar dan mengajar universitas besar (yang malah dicetak berulang-ulang):
Contoh, “umumnya dan terutama dalam ilmu-ilmu eksakta dianggap bahwa ilmu pengetahuan disusun dan diatur sekitar hukum-hukum umum yang telah dibuktikan kebenarannya secara empiris (berdasarkan pengalaman). Menemukan hukum-hukum ilmiah inilah yang merupakan tujuan dari penelitian ilmiah. Kalau definisi yang tersebut di atas dipakai sebagai patokan, maka ilmu politik serta ilmu-ilmu sosial lainnya tidak atau belum memenuhi syarat, oleh karena sampai sekarang belum menemukan hukum-hukum ilmiah itu” (Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, 1982:4, PT Gramedia, cetakan VII, Jakarta). Juga, “diskusi secara tertulis dalam bidang manajemen, baru dimulai tahun 1900. Sebelumnya, hampir dapat dikatakan belum ada kupasan-kupasan secara tertulis dibidang manajemen. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa manajemen sebagai bidang ilmu pengetahuan, merupakan suatu ilmu pengetahuan yang masih muda. Keadaan demikian ini menyebabkan masih ada orang yang segan mengakuinya sebagai ilmu pengetahuan” (M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen, 2005:19, Gajah Mada University Press, cetakan kedelapan belas, Yogyakarta).
Kemudian, “ilmu pengetahuan memiliki beberapa tahap perkembangannya yaitu tahap klasifikasi, lalu tahap komparasi dan kemudian tahap kuantifikasi. Tahap Kuantifikasi, yaitu tahap di mana ilmu pengetahuan tersebut dalam tahap memperhitungkan kematangannya. Dalam tahap ini sudah dapat diukur keberadaannya baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Hanya saja ilmu-ilmu sosial umumnya terbelakang relatif dan sulit diukur dibanding dengan ilmu-ilmu eksakta, karena sampai saat ini baru sosiologi yang mengukuhkan keberadaannya ada tahap ini” (Inu Kencana Syafiie, Pengantar Ilmu Pemerintahan, 2005:18-19, PT Refika Aditama, cetakan ketiga, Bandung).
Lebih jauh, Sondang P. Siagian dalam Filsafat Administrasi (1990:23-25, cetakan ke-21, Jakarta), sangat jelas menggambarkan fenomena ini dalam tahap perkembangan (pertama sampai empat) ilmu administrasi dan manajemen, yang disempurnakan dengan (r)evolusi paradigma TOTAL QINIMAIN ZAINn (TQZ): The Strategic-Tactic-Technique Millennium III Conceptual Framework for Sustainable Superiority, TQZ Administration and Management Scientific System of Science (2000): Pertama, TQO Tahap Survival (1886-1930). Lahirnya ilmu administrasi dan manajemen karena tahun itu lahir gerakan manajemen ilmiah. Para ahli menspesialisasikan diri bidang ini berjuang diakui sebagai cabang ilmu pengetahuan. Kedua, TQC Tahap Consolidation (1930-1945). Tahap ini dilakukan penyempurnaan prinsip sehingga kebenarannya tidak terbantah. Gelar sarjana bidang ini diberikan lembaga pendidikan tinggi. Ketiga, TQS Tahap Human Relation (1945-1959). Tahap ini dirumuskan prinsip yang teruji kebenarannya, perhatian beralih pada faktor manusia serta hubungan formal dan informal di tingkat organisasi. Keempat, TQI Tahap Behavioral (1959-2000). Tahap ini peran tingkah-laku manusia mencapai tujuan menentukan dan penelitian dipusatkan dalam hal kerja. Kemudian, Sondang P. Siagian menduga, tahap ini berakhir dan ilmu administrasi dan manajemen akan memasuki tahap matematika, didasarkan gejala penemuan alat modern komputer dalam pengolahan data. (Yang ternyata benar dan saya penuhi, meski penekanan pada sistem ilmiah ilmu pengetahuan, bukan komputer). Kelima, TQT Tahap Scientific System (2000-Sekarang). Tahap setelah tercapai ilmu sosial (tercakup pula administrasi dan manajemen) secara sistem ilmiah dengan ditetapkan kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukumnya, (sehingga ilmu pengetahuan sosial sejajar dengan ilmu pengetahuan eksakta). (Contoh, dalam ilmu pengetahuan sosial paradigma baru milenium III, saya tetapkan satuan besaran pokok Z(ain) atau Sempurna, Q(uality) atau Kualitas dan D(ay) atau Hari Kerja - sistem ZQD, padanan m(eter), k(ilogram) dan s(econd/detik) ilmu pengetahuan eksakta - sistem mks. Paradigma (ilmu) pengetahuan sosial lama hanya ada skala Rensis A Likert, itu pun tanpa satuan). (Definisi klasik ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur. Paradigma baru, TQZ ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur membentuk kaitan terpadu dari kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang rasional untuk tujuan tertentu).
Bandingkan, fenomena serupa juga terjadi saat (ilmu) pengetahuan eksakta krisis paradigma. Lihat keluhan Nicolas Copernicus dalam The Copernican Revolution (1957:138), Albert Einstein dalam Albert Einstein: Philosopher-Scientist (1949:45), atau Wolfgang Pauli dalam A Memorial Volume to Wolfgang Pauli (1960:22, 25-26).
Inilah salah satu akar masalah krisis Indonesia (juga seluruh manusia untuk memahami kehidupan dan semesta). Paradigma lama (ilmu) pengetahuan sosial mengalami krisis (matinya ilmu administrasi dan manajemen). Artiya, adalah tidak mungkin seseorang dan organisasi (termasuk perusahaan, departemen, dan sebuah negara) pun mampu memahami, mengatasi, dan menjelaskan sebuah fenomena krisis usaha apa pun tanpa kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum, mendukung sistem-(ilmu pengetahuan)nya.
PEKERJAAN dengan tangan telanjang maupun dengan nalar, jika dibiarkan tanpa alat bantu, membuat manusia tidak bisa berbuat banyak (Francis Bacon).
BAGAIMANA strategi Anda?
*) Ahli strategi, tinggal di Banjarbaru, email: tqz_strategist@yahoo.co.id (www.scientist-strategist.blogspot.com).
THANK you very much for Dr Heidi Prozesky – SASA (South African Sociological Association) secretary about Total Qinimain Zain: The New Paradigm - The (R)Evolution of Social Science for the Higher Education and Science Studies sessions of the SASA Conference 2008.
Posting Komentar
Silahkan memberikan komentar, tetapi yang relevan dengan posting yang ingin Anda komentari. Jangan pernah menjadikan ruang komentar ini untuk beriklan.